Kutoarjo, 14 agustus
2016
Perjalanan di KA Gajah wong
Perjalanan di KA Gajah wong
Jakarta ke Jogja biasa di tempuh dalam waktu 8 jam melalui kereta ini. Ini
adalah perjalanan terlama yg pernah aku ingat sepanjang umur ku yg belum genap
berusia 24 tahun. Kita (aku dan kedua orangtuaku) pernah berkunjung ke jogja,
dahulu sekali saat usiaku beranjak 7 atau 8 tahun. Jadi aku sudah lupa
bagaimana lelahnya menjadi bocah yg mestinya saat itu aku berlari disepanjang koridor
dan tidur di pangkuan mama. Tapi saat ini? Aku hanya duduk diam, mendengarkan
beberapa lagu, membaca buku ‘to kill a mockingbird’ karangan Harper lee, berulang kali melihat timeline di sosmed
(social media) pribadi, dan sesekali melihat pemandangan lewat jendela.
Rasa rasanya aku sudah lupa dengan ketakjuban saat aku masih kanak-kanak.
Dahulu aku begitu semangat melihat pematang sawah, bukit, gunung, jurang,
sungai, rumah rumah warga pedesaan yg berbeda dengan di Jakarta, dan bahkan
komplek kuburan warga yg sering aku temukan di pinggilan rel kereta. Sekarang
melihat itu semua terasa biasa saja , apa ini namanya dewasa? Atau sok dewasa.
Aku tidak menampikan bahwa aku masih bersyukur karena Allah SWT yg melukis
semua yg aku lihat dalam perjalanan ini.
Ketika kereta tengah memasuki stasiun kutoarjo aku melihat ada seorang ibu memboncengi anak lelakinya yg berusia sekitar 4 atau 5 tahun disepedah. Sekilas aku melihat bocah itu melambai-lambaikan tangan ke kereta yg tengah berjalan. Anak itu bahkan tidak tau melambaikan tangan kepada siapa, yg dia tau dia senang ada benda yg membuatnya kagum lewat di hadapannya. Dia terus melambai mungkin sampai kereta kami sudah tidak tampak di matanya.
Lalu terbersit sebuah pertanyaan di benakku, Kenapa anak itu begitu senang melihat sesuatu yg dengan cepat pergi dari hadapannya? Dia begitu semangat melambaikan tangan seolah berharap kereta ini tak ada ekornya. Mungkin dahulu akupun begitu. Kalau mengingat lagi kenangan waktu kecil, dahulu aku senang sekali melambaikan tangan saat melihat pesawat terbang dan helicopter. Benda-benda yang terbang di angkasa itu ajaib, mereka bisa mengambang di udara tapi nyatanya benda itu berat. Saat bocah aku mana tahu kalau itu di bantu baling-baling bambu *loh salah* baling-baling jet yang super besar tenaganya.
Lalu semakin dewasa kita malah begitu sulit melambaikan tangan atau saying goodbye pada hal yg kita senangi.
Contoh sederhana saja: kita suka bangen main sama handphone kita,
sedikit-sedikit buka handphone rasanya susah banget kalo kita ga liat handphone
tiap 5 menit sekali. Apa lagi kalau sudah tertinggal di rumah atau di suatu
tempat, pastilah kita langsung panik dan bahkan ada yang sampai merasa kesepian
karena ga ada alat komunikasi yang satu itu. Padahal kita tahu nanti ketika
kita pulang, kita juga bisa mendapatkan handphone itu lagi.
Begitulah menjadi dewasa, semakin kita dewasa kita jadi semakin tahu bahwa ‘melambaikankan
tangan’ , melepaskan atau merelakan hal yang kita senangi adalah menyakitkan
bagi sebagian besar orang. Tapi kita lupa belajar satu hal dari bocah lelaki
tadi. Dia sangat suka cita melambaikan tangan pada kereta yang tengah berjalan
dan menghilang dengan cepat dari hadapannya, karena dia tahu akan ada kereta
lain yang akan dia jumpai esok hari, lusa dan seterusnya. Di tempat dimana dia
bisa berhenti sejenak melepaskan segala ketakjubanya, mengulang kebahagiaannya,
dan tak lupa melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu
yang di takdirkan untuk pergi.
Salam,
Ami
0 komentar