Aku ingin menyerah mencintaimu, tapi belum (part 4)
- May 04, 2017
- By Aminah Nurul Jannah
- 0 Comments
Kami cukup cepat mendapatkan putaran karena antrian saat itu tidak
terlalu ramai. Saat bianglala berputar pelan, sangat pelan sampai rasanya detak
jantungku ikut memelan. Belum kami sampai di atas kay sudah mengajak aku
berbincang ringan, dari dimana tempat tinggalku sekarang, sampai bosan atau
tidaknya aku kerja sebagai admin. Kalau dibilang bosan tentu belum, bagaimana
tidak dua minggu lalu aku baru saja menjadikan kay pelampiasanku. Tidak mungkin
bisa aku bosan, walaupun tidak melulu bertemu, berbincang dan menatap matanya.
Diputaran kedua kalau aku tidak salah, kay bersenandung pelan sambil menatap bukit diseberang matanya yang mulai bermandikan lampu-lampu, menjadikannya terlihat seperti bukit bintang. Dia melantunkan nada lagu you’re the inspiration-nya Chicago, salah satu lagu dari playlist jadulku yang diputar saat pagi kami berangkat ke Bogor. Katanya, saat mendengar lagu itu kay jadi mengingat tentang ayahnya, katanya beliau juga suka memutar lagu-lagu jadul.
Mendengar kisah ayah kay membuat semangatku terpacu saat itu. Kay menceritakan sang ayah dahulu hanyalah seorang supir bajaj yang setiap hari harus pulang pergi Citayam – Jakarta – Citayam menggunakan kereta. Tempat pool bajaj yang disewanya berada tak jauh dari stasiun tempat beliau turun. Ayahnya bekerja sekitar 10 jam sehari demi membiayai kehidupan keluarganya saat itu. Memang dahulu keluarga kay tidak tinggal di Jakarta, setelah kay lulus SMP barulah keluarganya pindah ke Jakarta. Karena paman kay mempercayai ayahnya dari dijadikannya supir rental mobil sampai diamanatkan mengelola cabang rental mobil pamannya. Kerja keras yang ayah berbuah manis sampai mencapai kehidupan yang bisa dibilang mapan dari sebelumnya. Semua itu berkat doa, kegigihan dan dukungan keluarganya.
Diputaran kedua kalau aku tidak salah, kay bersenandung pelan sambil menatap bukit diseberang matanya yang mulai bermandikan lampu-lampu, menjadikannya terlihat seperti bukit bintang. Dia melantunkan nada lagu you’re the inspiration-nya Chicago, salah satu lagu dari playlist jadulku yang diputar saat pagi kami berangkat ke Bogor. Katanya, saat mendengar lagu itu kay jadi mengingat tentang ayahnya, katanya beliau juga suka memutar lagu-lagu jadul.
Mendengar kisah ayah kay membuat semangatku terpacu saat itu. Kay menceritakan sang ayah dahulu hanyalah seorang supir bajaj yang setiap hari harus pulang pergi Citayam – Jakarta – Citayam menggunakan kereta. Tempat pool bajaj yang disewanya berada tak jauh dari stasiun tempat beliau turun. Ayahnya bekerja sekitar 10 jam sehari demi membiayai kehidupan keluarganya saat itu. Memang dahulu keluarga kay tidak tinggal di Jakarta, setelah kay lulus SMP barulah keluarganya pindah ke Jakarta. Karena paman kay mempercayai ayahnya dari dijadikannya supir rental mobil sampai diamanatkan mengelola cabang rental mobil pamannya. Kerja keras yang ayah berbuah manis sampai mencapai kehidupan yang bisa dibilang mapan dari sebelumnya. Semua itu berkat doa, kegigihan dan dukungan keluarganya.
Sekali lagi aku mendapatkan kepingan kecil dari diri Kay saat itu,
namun sayangnya kepingan yang membuat Kay terinspirasi itu tinggal kenangan.
Pasalnya sang Ayah telah meninggal dunia, jauh sebelum Kay menceritakan
kisahnya itu padaku. Saat angin lembut menyapu rambutnya dengan ringan, aku
hanya bisa menatap matanya yang tak setatap denganku. Mata yang penuh kerinduan
itu menelusuri pelan bukit bintang yang sudah sepenuhnya bermandikan cahaya
dari rumah-rumah penduduk.
Setelah pekerjaan lapanganku di Bogor itu, aku sempat lima kali kembali di tugaskan bersama team Kay di seminar yang sama tetapi di tempat yang berbeda. Banyak hal yang aku temukan dalam diri Kay saat aku bekerja bersamanya. Tiga bulan cukup membuatku mengenal Kay, tidak terlalu dalam hanya sebatas kulit luarnya saja cukup. Setelah itu aku kembali berkutik di depan komputer alias kembali ke pekerjaan semula. Aku tidak pernah lagi berbincang dengan Kay beberapa minggu sejak pertemuan kami di pekerjaan terakhir di kota Bekasi. Tetapi sesekali aku pernah melihatnya makan di kafetaria bersama petinggi kantor, tapi tak pernah sempat untuk bertegur sapa. Saat itu aku hanya memandangnya jauh, memperhatikan gerak geriknya, dan lagi-lagi matanya.
Entah kenapa aku mulai merindukannya, aku jadi ingin kembali bekerja di lapangan, bukan mondar-mandir ke mesin fotocop atau sibuk dengan segala jenis laporan yang tak pernah ada habisnya. Hari itu, hari ke 22 kami tidak berbincang. Aku tengah menunggu copy-an laporanku keluar dari mesin fotocopy saat seorang wanita menyentuh pundakku. Wanita ini pernah sesekali aku melihatnya di kafetaria, tapi aku tidak tahu di divisi mana dia ditempatkan. Dia menanyakan apa aku sudah selesai menggunakan mesinnya. Sambil sama-sama menunggu, kami berbincang ringan.
Namanya Mar...
Namanya Mar, wanita
berparas manis dan tingginya hampir sepelipisku. Saat tersenyum lesung pipinya
tertoreh di sebelah kanannya. Mar bekerja dibagian marketing, divisinya berada
dua lantai diatas divisiku. Semenjak hari perkenalan itu, kami mulai makan
bersama di kafetaria. Mar yang begitu ramah dan mudah diajak berbincang membuat
kami semakin hari semakin dekat. Kami membahas segala hal dari pekerjaan sampai
jodoh yang tak kunjung temu.Setelah pekerjaan lapanganku di Bogor itu, aku sempat lima kali kembali di tugaskan bersama team Kay di seminar yang sama tetapi di tempat yang berbeda. Banyak hal yang aku temukan dalam diri Kay saat aku bekerja bersamanya. Tiga bulan cukup membuatku mengenal Kay, tidak terlalu dalam hanya sebatas kulit luarnya saja cukup. Setelah itu aku kembali berkutik di depan komputer alias kembali ke pekerjaan semula. Aku tidak pernah lagi berbincang dengan Kay beberapa minggu sejak pertemuan kami di pekerjaan terakhir di kota Bekasi. Tetapi sesekali aku pernah melihatnya makan di kafetaria bersama petinggi kantor, tapi tak pernah sempat untuk bertegur sapa. Saat itu aku hanya memandangnya jauh, memperhatikan gerak geriknya, dan lagi-lagi matanya.
Entah kenapa aku mulai merindukannya, aku jadi ingin kembali bekerja di lapangan, bukan mondar-mandir ke mesin fotocop atau sibuk dengan segala jenis laporan yang tak pernah ada habisnya. Hari itu, hari ke 22 kami tidak berbincang. Aku tengah menunggu copy-an laporanku keluar dari mesin fotocopy saat seorang wanita menyentuh pundakku. Wanita ini pernah sesekali aku melihatnya di kafetaria, tapi aku tidak tahu di divisi mana dia ditempatkan. Dia menanyakan apa aku sudah selesai menggunakan mesinnya. Sambil sama-sama menunggu, kami berbincang ringan.
Namanya Mar...
Saat kami makan bersama di kafetaria ada saat-saat dimana mata Mar seperti mencari seseorang. Ketika aku tanya, dia selalu mengelaknya. Sampai kami sudah bisa dibilang menjadi seorang teman, kala itu kami pergi bersama untuk menonton film yang kebetulan sekali sama-sama kami sukai. Mar secara spontan menanyakan Kay ketika kami tengah berjalan menuju tempat makan. Saat itu aku sempat menghentikan langkahku, aku bahkan agak lupa dengan Kay semenjak berbincang dengan Mar jadi terasa begitu menyenangkan.
Begitu kami tiba di tempat makan yang menyajikan makanan Jepang, Mar semakin banyak bertanya tentang Kay kepadaku. Tetapi saat itu aku malah tidak bisa menjawabnya dengan fokus. Setiap Mar menyebut nama Kay, benakku mencuri bayang-bayang wajahnya. Sampai hatiku mencelos saat mendengar bahwa Mar ternyata menyukai Kay. Dia juga meminta dukunganku agar dirinya kelak bisa bersama Kay. Aku yang mencoba berkonsentrasi dengan hati dan pikiranku saat itu, mencoba tersenyum dan menjawab dengan nada penuh keyakinan, bahwa aku akan mendukungnya.
(Bersambung)
0 komentar