Aku ingin menyerah mencintaimu, tapi belum (part 3)


Dua minggu sudah berlalu, subuh itu aku sudah mempersiapkan segalanya. Ya, segalanya karena selain tumpukan kertas laporan, aku juga membawa sebuah payung, jas hujan plastik, dan juga bekal makan siang berjaga-jaga siapa tau aku tidak kebagian makanan disana, yah walaupun tak mungkin juga. Begitulah seorang melankolis, hidupnya terlalu detail, tertata, dan segalanya butuh persiapan. 

Di jalan tol menuju Bogor kami berempat, aku, kay, dan dua orang assistant kay menikmati perjalanan sambil mendengarkan lagu dari salah satu stasiun radio. Tetapi karena signal di jalan tol tidak terlalu baik membuat lagu yang sedang diputar bersuara sumbang. Akhirnya kay memintaku untuk mengganti siaran radio dengan music mp3 dari handphoneku. Sebelumnya aku sudah menjelaskan pada kay, aku tidak terlalu update dengan lagu-lagu masa itu, isi playlist ku kebanyakan lagu barat tahun 1980 sampai 2000, dan sedikit lagu gaul masa itu. Aku pikir kay tidak jadi memutar lagu dari handphoneku, ternyata dia malah antusias dan ingin mendengarnya. Betapa bodohnya aku saat itu malah merasa senang hanya karena kay ingin mendengar lagu-lagu di playlistku

Jam saat itu menunjukan pukul 6.16 saat kami tiba di tempat tujuan. Kami langsung bergegas mengambil peran kami masing-masing setelah briefing sekitar 10 menit. Rasa-rasanya waktu itu aku baru bekerja lebih kurang satu jam saat aku mendengar kay menggerutu lapar dibalik panggung. Aku yang mendengar keluhan kay bersama asistantnya merasa apa aku perlu menawarinya untuk makan bekalku sebelum dia memesan makanan diluar. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk segera menawarkannya, ternyata kay mau dan begitu pula dengan assistantnya. Akhirnya kami rehat sejenak menuju parkiran mobil, sambil duduk di taman kecil kami mulai bersantap.

Bekal yang aku bawa ternyata pas untuk empat orang, aku hanya membawa tumis jamur dan jagung, keripik kentang pedas manis, dan ikan tepung saos asam manis. Bukan, tentu saja bukan aku yang memasaknya, itu semua berkat bantuan ibuku yang baik hati yang selalu membawakan bekal lezat setiap hati untuk anaknya. Malu juga aku tidak memiliki keturunan pandai memasak dari ibuku. Jujur saja aku sebagai wanita, lebih mengenal jenis kertas ketimbang perbedaan jahe dan lengkuas, atau aku lebih cepat mengerjakan stock opname mingguan ketimbang membuat sayur sop atau sayur lodeh. Miris sekali rasanya menjadi wanita yang lama terjebak menjadi karyawan.

Saat kami sedang asik bersantap dan berbincang, sesekali aku memperhatikan kay yang sedang berkutik memisahkan jagung dari tumis jamur. Ternyata setelah aku tanya, kay tidak suka beberapa jenis sayuran. Di perbincangan juga aku tahu kay sangat suka makanan yang manis, dia memiliki kebiasaan sampai dewasa ini pagi minum susu dan malam minum kopi. Hari itu aku seperti mendapat serpihan dari sosok kay, walaupun bagi orang lain itu tidak ada apa-apanya tapi bagiku itu sangat membantuku untuk mengenal kay lebih dalam lagi tanpa harus langsung terjun bebas ke pikirannya.

Pekerjaan kami kala itu selasai di sore hari, senja sudah memanggil sebagai tanda kami perlu merehatkan tubuh kami dari segala rutinitas hari itu. Tetapi rasanya tubuh kay belum benar benar lelah. Kay malah mengajak kami untuk refreshing ke salah satu taman wisata didekat tempat seminar yang kami adakan. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya, hari itu pertama kalinya aku bisa melepas segala penat setelah lebih kurang 6 bulan tidak mengambil cutiku. Tentu saja aku manfaatkan moment ini, dalam benakku saat itu aku tidak butuh permainan extreme yang memacu andenalin. Aku hanya ingin melihat pemandangan Bogor sekitarnya di waktu senja dari bianglala.

Seorang assistant kay mengajakku untuk naik rollercoaster , tentu saja aku menolaknya. Aku masih sayang dengan jantungku, dan tentu saja aku tidak ingin makan siang ku yang nikmat harus aku buang setelah turun dari permainan itu. Sebetulnya aku seorang penakut, itu saja sudah menjelaskan semuanya. Akhirnya aku berpisah dengan mereka bertiga, menuju tempat yang ingin sekali aku tuju.

Langkah kaki ku terhenti saat kay memanggilku, dia berlari kecil dan berkata ingin menemaniku. Tentu tak perlu aku jelasakan bagaimana perasaanku saat itu, senang? Tentunya. Berdebar? Sudah pasti. Tak dapat berkata normal? Iya, rasanya saat berjalan berdua bersama kay fungsi otakku melambat. Aku tahu ini rasanya terlalu cepat untuk permulaan pelampiasan, tapi itulah yang benar-benar aku rasakan saat bersamanya. Rasanya seperti aku telah menyukainya sejak lama, lama sebelum aku merasakan sakit.


(bersambung)

You Might Also Like

0 komentar