Aku ingin menyerah mencintaimu, tapi belum (part 8)
- May 08, 2017
- By Aminah Nurul Jannah
- 0 Comments
Hari yang telah aku janjikan telah tiba, sehari sebelum Kay pindah
ke Bandung aku diundang oleh Kay untuk ikut acara perpisahan kecil-kecilan di
divisinya. Disana kami makan pizza bersama, yang lain ada yang memberikan kado
untuk Kay. Ah, bodohnya diriku kenapa aku juga tidak memberinya
kenang-kenangan. Karena terlalu fokus memikirkan misiku untuk Mar, aku sampai
lupa untuk membelikan sesuatu yang membuat Kay teringat padaku. Tapi itu juga
percuma, sama saja aku mengambil langkah curang dari Mar. Jadi aku urungkan
kekecewaanku dan kembali berfokus pada bagimana cara aku mengatakannya pada Kay
tentang Mar.
Saat suasana mendukung untuk berbincang hanya empat mata dengan Kay, aku mengajak Kay duduk di sofa yang berada tepat di lounge divisinya. Aku mulai gagap saat ingin mulai memberitahunya. Sesekali aku menatap matanya yang sering menunduk itu dari pada bertahan lama menatapku berbicara. Dia agak tersentak sebelum meneguk Cola-nya saat aku bilang bahwa Mar menyukainya dan dia ingin tahu apa dia ingin memberikan kesempatan pada Mar untuk mengenalnya lebih jauh.
Tanpa kuduga dia tersenyum simpul, tanpa menatapku. Pandangannya jatuh ke pinggiran gelas berisi Cola yang tidak jadi dia minum. Jarinya bergerak lamban menyentuh gelas, dan aku merasakan perutku semakin berat saat kulihat bibir Kay ingin mengucapkan sesuatu. “Terimakasih sudah menyukaiku begitu lama,” matanya beralih padaku, aku seperti mendengarnya menjawab tentang segala perasaanku padanya. “Aku juga pasti akan merasa jahat jika aku memaksakan diri untuk lebih mengenalnya, padahal didalam hatiku aku menyukai orang lain.” Jantungku hampir jatuh saat Kay melanjutkan kata-kata terakhirnya. Haha, sekali lagi aku mengutuk diriku bodoh tentu saja pria seperti Kay menyukai seorang wanita, ya wanita yang tentunya bukan Mar, apalagi aku. Wanita yang begitu luar biasa yang bisa membuat Kay jatuh hati padanya. Mungkin dia wanita yang pintar, mempesona, dan tentu saja cantik.
Saat suasana mendukung untuk berbincang hanya empat mata dengan Kay, aku mengajak Kay duduk di sofa yang berada tepat di lounge divisinya. Aku mulai gagap saat ingin mulai memberitahunya. Sesekali aku menatap matanya yang sering menunduk itu dari pada bertahan lama menatapku berbicara. Dia agak tersentak sebelum meneguk Cola-nya saat aku bilang bahwa Mar menyukainya dan dia ingin tahu apa dia ingin memberikan kesempatan pada Mar untuk mengenalnya lebih jauh.
Tanpa kuduga dia tersenyum simpul, tanpa menatapku. Pandangannya jatuh ke pinggiran gelas berisi Cola yang tidak jadi dia minum. Jarinya bergerak lamban menyentuh gelas, dan aku merasakan perutku semakin berat saat kulihat bibir Kay ingin mengucapkan sesuatu. “Terimakasih sudah menyukaiku begitu lama,” matanya beralih padaku, aku seperti mendengarnya menjawab tentang segala perasaanku padanya. “Aku juga pasti akan merasa jahat jika aku memaksakan diri untuk lebih mengenalnya, padahal didalam hatiku aku menyukai orang lain.” Jantungku hampir jatuh saat Kay melanjutkan kata-kata terakhirnya. Haha, sekali lagi aku mengutuk diriku bodoh tentu saja pria seperti Kay menyukai seorang wanita, ya wanita yang tentunya bukan Mar, apalagi aku. Wanita yang begitu luar biasa yang bisa membuat Kay jatuh hati padanya. Mungkin dia wanita yang pintar, mempesona, dan tentu saja cantik.
Malamnya aku memberitahukan segalanya kepada Mar via telepon, diujung sana suaranya memberat aku tahu dia sedang menangis. Aku mencoba menguatkannya, aku meyakinkannya bahwa semua ada hikmahnya. Diujung perbincangan kami, Mar meminta maaf karena telah melibatkanku dalam masalah rumitnya. Aku juga berterimakasih pada Mar, karena sekarang aku tahu bahwa Kay telah menyimpan hati pada seorang wanita, bukan Mar, dan bukan aku. Jadilah malam itu kami menangis dan tertawa bersama, dua orang wanita yang sama-sama mencintai pria bernama lengkap Makayro Firdausi.
Esoknya ibu bertanya padaku kenapa mataku seperti habis disengat lebah di pagi harinya. Aku mencurahkan semuanya kepada ibu, dan ibu hanya tersenyum sambil menasehatiku. “Perasaan seseorang itu bagai pasir dalam genggaman tanganmu, terlalu kuat kau memegangnya akan jatuh tak bersisa. Peganglah perasaan itu dengan kedua tanganmu, tengadahkan tanpa perlu menggenggamnya, dan serahkan segalanya kepada Allah. Biar Dia yang menjaganya, menjadikannya sempurna.” Aku tersenyum kepada ibu, dan aku memeluknya untuk merasakan kehangatan dan kekuatan yang ada dalam dirinya. “Terima kasih bu.” Bisikku dalam pelukkannya.
0 komentar